Selasa, 14 Oktober 2008

Invitation

Kami, anak kelas III-B (istilah sekarang kelas 9), memanggilnya dengan tiga huruf, U-U-S. Lengkapnya Uswatun Khasanah, yang artinya tauladan yang baik. Dan memang namanya sesuai dengan kepribadiannya. Wajar saja kalau banyak yang tertarik kepadanya. Wajahnya cantik, tapi tidak melankolis. Aku menyebutnya wajah keibuan, dengan pipinya yang seperti buah apel. Rambut lurusnya dibiarkan tergerai dengan bando sederhana tapi terkesan elegan di kepalanya. Poni di dahinya tergantung sebatas alis, sempurna. Orangnya serius, tapi bisa menikmati guyonan teman-temannya. Dia bukan tipe gadis borju walaupun orang tuanya termasuk kalangan berada untuk ukuran kampung.

Suatu siang jelang pulang sekolah di hari Jum'at, aku dikejutkan oleh undangannya. Ya, Uus mengundangku belajar bersama untuk menyelesaikan seabreg PR yang diberikan Pak Jimo, guru terkiller. Celakanya untuk pelajaran matematika yang paling membuatku momok. Padahal menurutku dia sanggup menyelesaikannya tanpa harus dikroyok dalam sebuah gawe bernama belajar bersama atau belajar kelompok. Nilaiku jauh di bawahnya untuk mata pelajaran satu ini.

Huh... kenapa musti melibatkanku pada hantu ini? Mengapa dia tidak mengajakku membahas soal-soal Bahasa Inggris saja. Kan jadi tambah pede dan akan nampak jago di depannya. Bisa buat ajang pamer "kekuatan". Aku pasti akan lebih bersyukur kepada Tuhan, andai saja ia mengundangku untuk membimbingnya dalam mapel gacoanku ini. Inilah satu-satunya kebanggaanku, karena bisa mengalahkan rangking satu paralel kelas III. Mapel yang lain, jangan tanya lah, pasti KO. Dari total nilai, aku cuma menduduki posisi keempat, itu pun hanya di kelasku. Secara paralel, aku hanya di posisi 20 besar. Sementara Uus, gadis yang kutaksir yang hari ini mengundangku, sejatinya ia lebih smart. Posisinya juara kedua secara paralel.

Ah, persetan itu semua. Toh ini sebuah peluang langka, aku dapat undangan seistimewa ini. Belum tentu akan terjadi dua kali seumur hidupku. So what? Kenapa pusing-pusing amat, wong si Amat saja nggak pusing.

Coba bayangkan, seorang gadis yang diam-diam kulirik saat guru menyampaikan materi-materi yang membosankan, yang ketika dia seperti merasa telah lama diperhatikan, maka ia pun menoleh, dan mata kami saling beradu. Maka serta merta pipinya memerah dan langsung membuang muka. Aku pun senang dibuatnya, sehingga ketika guru killer itu mengajukan pertanyaan kepadaku, maka aku pun gelagapan dibuatnya.

Ini adalah anugerah luar biasa. Melebihi anugerah Nobel bagi para pemenangnya. Betapa tidak, gadis juara dua itu mengundangku untuk belajar bersama! Asyikk... terima kasih Tuhan...

* * *
Ahad pagi usai mencuci sepatu gambar capung satu-satunya harta berhargaku, aku langsung bersih-bersih diri. Memilih pakaian yang paling pantas kukenakan. Seolah aku hendak menghadiri sebuah undangan pesta seorang putri raja, yang ayahnya sedang mengadakan sayembara untuk para pemuda di seantero negeri. "Barangsiapa yang berpenampilan melebihi pangeran negeri seberang, maka ia berhak menjadi pendamping putri tunggalnya!", demikian kira-kira bunyi pengumuman di alun-alun kotapraja tempo doeloe.
Kukayuh sepeda mini biruku. Tak sabar rasanya menempuh sepuluh kilometer ke rumahnya. Uf... kenapa rasanya seperti menempuh 100 kilometer. Namun udara jam 10 pagi ini terasa semilir seperti angin di Linggo Asri, sebuah kawasan pegunungan dengan ketinggiannya 700 mdpl dan berjarak 30 km sebelah selatan kampungku. Walaupun sejatinya sinar sang surya musim panas ini sudah cukup menyengat kulitku.

Peluh membanjiri pakaian terbaikku, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebelah mana nih rumahnya? Tingkahku seperti monyet kena tulup. Celingak-celinguk mencari-cari sebuah rumah kuno dengan halaman luas yang ada pohon mangga manalaginya sepasang di depannya. Menurut petunjuknya, rumahnya terletak berseberangan dengan kompleks 407, agak ke selatan kira-kira 10 meter. Namun sudah 20 meter lewat belum juga nampak rumah dengan spesifikasi seperti dia sebutkan. Rupanya dia kurang pandai menghitung jarak. Pantas saja hari ini mengundangku untuk menyelesaikan seabreg tugas matematika yang berhubungan dengan urusan jarak.

Hampir seperempat jam kuhabiskan untuk mondar-mandir dalam radius 10 sampai 20 meter itu. Sayangnya aku tidak sempat menanyakan nama ayahnya, sehingga ketika bertanya dengan orang-orang dalam radius itu, aku hanya menyebutkan namanya. Celakanya lagi, ia adalah tipe anak mama, anak rumahan, sehingga baik nama panggilan ataupun nama lengkapnya tak cukup menggali ingatan para tetangganya. Akhirnya ketika salah seorang bertanya balik kepadaku, apakah anak yang kumaksud itu putra Pak Ahmad pensiunan KUA yang punya toko kelontong itu, maka serta merta kujawab "Nggih, leres, Bu". Padahal sungguh aku tak tahu nama ayahnya, apalagi pekerjaannya. Mudah-mudahan aku beruntung.

* * *
Terlambat setengah jam tak membuatnya menggerutu. Rupanya sudah sejak pagi ia mempersiapkan gawe ini. Hehe, kayak mau mantu aja. Memang kok. Lihat saja penampilannya pagi ini, menemuiku dengan semerbak harum putri raja. Rambutnya yang lurus berponi, jatuh mengumpul karena masih basah bekas keramas tadi. Dia mengenakan gaun yang menurutku lebih pas dipakai untuk menghadiri acara ultah. Belum lagi setting tempat, meja kursi di teras depan itu, sepertinya telah berubah dari susunan biasanya. Terbukti ada bekas kaki kursi setengah meter dari posisi sekarang dalam format lurus berbanjar. Empat kursi anyaman rotan itu telah disusun ulang, melingkari meja kaca 7 mm itu.

Ehm, salah tingkah aku dibuatnya saat dia tersenyum menyalamiku, "Capek ya, nyepeda dari rumah? Nggak kesasar 'kan?"
Ya capek banget tho non, 10 km ngonthel dengan kecepatan bersaing dengan motor, ditambah bonus lagi, nyari-nyari alamat rumahmu yang tidak sesuai petunjukmu. Gerutu hatiku, tapi wajahku kupaksakan tersenyum, semanis-manisnya. Ups, untung sudah gosok gigi sampai menghabiskan satu tube odol tadi.

"Yang lain belum pada datang ya?" tanyaku sekenanya.
Uus menggeleng dan hanya tersenyum memerah. Ya Tuhan, tak kuasa aku memejamkan mata demi melihat ranum pipinya bak apel washington itu.
"Nggak usah menunggu yang lain, wong cuma kamu yang kuundang kok."
"Ha???"

Antara tidak percaya dengan pendengaranku dan rasa senang karena rupanya akulah satu-satunya peserta belajar bersama ini, membuat jengah tingkahku. Ya Tuhan, pikirku dia mengundang beberapa kawan yang jago matematika untuk merampungkan tugas-tugas ini. Tradisi umumnya, belajar bersama kan dilakukan sekelompok orang, seperti club bahasa Inggrisku yang tujuh orang itu. Namun ini rupanya kelompok eksklusif. Hanya dia dan aku! Oh Tuhan, anugerah apalagi yang akan Engkau berikan kepadaku?

* * *
Jujur saja, aku tak memberikan kontribusi berarti dalam belajar bersama ini. Dari sepuluh soal yang sempat kami selesaikan, hanya satu yang dari pemecahanku, itu pun setelah Uus mengingatkan rumusnya. Pikiranku malah ngawur kemana-mana. Mencuri-curi kesempatan untuk memandangi poninya. Dan ranum apel washingtonnya tentu.

Tiba-tiba otak mengkhayalku melesat ke masa depan. Mencoba mengkonstruksi, seandainya si apel washington ini jadi pendamping hidupku kelak. Ah, betapa bahagianya punya istri keibuan seperti dia. Tentu dia akan sangat menyayangi anak-anakku kelak. Berapa ya enaknya? Dua anak cukup, laki perempuan sama. Ah tidak, aku nggak mau terprovokasi program kuno itu. Yang modern kan banyak anak banyak rezeki. Lho, lha iya tho. Coba saja pikir, bukankah Tuhan telah menjamin rezeqi tiap makhlukNya? Maka berarti semakin banyak anak, semakin banyak pula rezeqi yang akan mampir ke kita. Hitung aja 2 anak dibanding 11 anak, banyak mana coba? Ponakanku yang TK aja tahu itu. Udah ah, kembali ngayal lagi. Aku akan punya sebelas anak saja. Ya, sebelas pas! Jadi nanti kalau ada sepakbola 17-an RT, aku tidak perlu cari-cari pemain lagi. Cukup mengerahkan anak-anakku untuk menyukseskan program kampung itu. Kesibukan pagi membangunkan dan memandikan mereka. Bercanda bersama dengan 11 anak yang selisih dua tahunan, sepertinya mengasyikkan.

Belum lagi kalau mereka sudah dewasa semua. Oh senangnya saat Lebaran tiba. Kami akan dikunjungi sebelas anak dan sebelas pasangan hidupnya ditambah sebelas kali sebelas cucu-cucu kami yang lucu-lucu. Wow, ramenya melebihi pasar malam di kampung sebelah. Menyenangkan sekali.

"Maem dulu yuk!" ajaknya membuyarkan lamunanku. "Eh, ng... kok ndadak repot-repot segala," aku gelagapan ketahuan baru mengembara. "Nggak kok, seadanya. Yuk... cacingnya sudah pada main orkes keroncong nih..." Eh, bisa saja anak seserius dia bercanda nih. Ayolah... Anugerah berikutnya nih, terima kasih Tuhan.

* * *

Sore ini istriku marah-marah. Penyebabnya menurutku sepele, aku memulangkan anakku dulu, baru mengantarkan anak guru ngajinya pulang. Tadi sebelum jemput Zaid anak kedua kami yang duduk sekelas dengan Izzudin anak guru ngajinya, dia meneleponku untuk mengajak serta Izzudin sekalian menjemput dirinya yang sedang ngaji di rumah mbak Wati. Jadi ngiras-ngirus begitu, efektifitas jalur dan peluang pahala juga kan. Aku setuju. Namun karena sudah sore dan hampir adzan maghrib, maka kupulangkan dulu Zaid agar ia langsung mandi sore. Karena istriku mengultimatum, anak-anak tidak boleh mandi lebih dari jam lima sore. Nah, agar tidak terjadi keributan itulah maka kuberi Zaid kesempatan mandi sebelum ibunya pulang.

Namun apa yang terjadi berikutnya ternyata di luar daya khayalku tempo dulu. Aku tidak sempat memprediksikan reaksinya begitu melihat kedatanganku membawa Izzudin pas adzan berkumandang. Rupanya majelis ngajinya sudah selesai beberapa menit lalu. Tak terlihat teman-teman ngajinya yang 5 orang ibu-ibu itu. Bahkan mbak Wati, begitu kami menyapa guru ngajinya, sudah berhelm dan siap-siap mengeluarkan motornya, untuk menjemput Izzudin tentunya.

Sepanjang jalan, omelan istriku bersaing dengan kumandang adzan maghrib di setiap mushola yang kami lewati.
"Lama amat sih. Tadinya kalau nggak sanggup jemput nggak usah bilang iya. Daripada bikin orang nunggu-nunggu. Aku kan nggak enak sama mbak Wati, sudah berusaha telpon kamu tapi tak kunjung datang." Dan bla-bla-bla yang lain yang tak mungkin kutuliskan semua, bisa habis ruang ini nanti. Aku memilih diam saja. Prinsipku, jika salah satu pasangan berbicara maka yang lain harus mendengarkan. Prinsip bergantian begitu. Bayangkan saja, jika dua orang bicara, maka siapa yang akan mendengarkan? Bukankah pasangan itu saling melengkapi?

Kutambah kecepatan laju motor bebek kreditku itu. Antara dongkol dan ingin mengejar maghriban berjamaah di musholla dekat rumah. Istriku tambah uring-uringan.
"Aku turun sini saja, aku turun saja kalau nggak mau mboncengin aku!" teriaknya berulang-ulang.
Sebenarnya aku menyadari, cukup berbahaya mengendarai dengan kecepatan begini di jalan kampung. Mana melewati pasar tiban lagi. Tapi alhamdulillah-nya, tidak terjadi senggolan dengan pengguna jalan lain.

* * *
Suasana malam ini sungguh tak mengenakkan. Tapi badanku terlalu lelah untuk meng-happy-ending-kan suasana sore tadi. Aku lebih memilih kasur di samping anak keempatku untuk melepas penat seharian ini. Biarlah besok pagi kubereskan ganjalan ini...

* * *
Usai turun musholla subuh tadi aku hendak menderas beberapa lembar qur'an merah bataku. Tapi kulihat hape di atas mushaf merah bata itu mengisyaratkan ada sms masuk. Hah, dari istriku! Agak deg-degan juga membukanya. Khawatir jangan-jangan ia masih mau melanjutkan perang lagi.
Kupencet tombol OK, dan... bismillah, kubaca rangkaian huruf-huruf yang agak susah membacanya karena penuh dengan konsonan. Dampak buruk satuan sms yang cuma 160 karakter!

"Cntaku, maafkan aq y, sjak kmarn marah2 mulu. Trutama sm kamu. Nurut buku yg kubaca kmarn, utk mnetralkannya salah satunya dg ML. mk aq mengundangmu mlm ini."
Terima kasih oh Tuhan, undangan ini lebih membahagiakan dibanding undangan belajar bersamanya 19 tahun lalu...

Senin, 13 Oktober 2008

Teori 9 Mesin Tik

Aku lupa dari siapa teori ini kudapat. Aku menyebutnya "Teori 9 Mesin Tik", yakni sebuah teori yang sangat manjur --atau tepatnya sebuah tips jitu-- untuk siapa saja yang ingin menjadi penulis handal.
Prinsipnya sederhana. Dahulu, ada seorang yang ingin sekali menjadi penulis, maka ia menyiapkan 9 mesin ketiknya yang masing-masing sudah dipasangi selembar kertas kosong siap ditulisi.
Nah, ketika ia mendapat ide apa saja, segera ia tuangkan dalam mesin ketik pertama. Kemudian selang beberapa waktu --bisa detik, menit, jam, hari atau bahkan pekan atau bulan-- ide lain datang, maka ia pun segera bergegas menuju ruang 9 mesin ketiknya. Apabila ide baru tadi masih nyambung dengan ide pertama, maka ia mengetiknya di mesin pertama. Namun apabila ide itu sama sekali baru dan tidak berhubungan dengannya, maka ia mengetikkan pada mesin kedua.
Demikian seterusnya sampai kesembilan mesin ketiknya penuh dengan curahan isi kepalanya. Maka kelak, ia tinggal menyambung-nyambungkan tulisan pada setiap mesin ketiknya, dan... tiba-tiba jadilah sebuah batang tubuh narasi yang lengkap, yang tadinya saling lepas satu dengan lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu, meningkat pulalah kemampuan menulisnya.

Inilah yang mengilhamiku menamakan blog ini sebagai "9 Mesin Tik". Harapannya, semua tulisan di sini kelak menjadi sebuah novel best seller yang tidak hanya bermanfaat untuk menyejahterakan keluargaku, namun lebih besar dari itu, memberdayakan orang lain untuk lebih produktif dan mengisi hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat. Amin...